KEGELISAHAN AWAL DARI KEABADIAN
Rasa gelisah yang sering mengungkung hati, kadang menjadi bara api yang
sanggup kobarkan nurani. Kata gelisah identik dengan resah, kalut,
cemas, atau kata kerennya sekarang “ galau”. Bila rasa ini tidak
dikelola dengan baik, hanya menghasilkan suasana hati yang tidak
tentram, tidak tenang atau tidak sabar untuk melakukan atau berbuat
sesuatu. Namun, bila gelisah ditata dengan baik, dikelola dengan matang,
dan dicarikan solusi yang tepat, akan menemukan muaranya. Muara untuk
mencari jati diri, mengespresikan jiwa, mengobarkan semangat untuk
berbuat kebajikan, menebarkan kebaikan, dan meraih asa yang melambung
tinggi di angkasa.
Gelisah bukan lagi masalah yang jadi penghalang di
setiap langkah. Gelisah bukan lagi sekedar keluh-kesah atau
sumpah-serapah. Gelisah adalah bukti kalau kita punya peduli. Kehampaan
karya, kesepian ide, kekosongan aktifitas yang mampu menyuarakan deru
hati yang pilu. Sendu dengan kebekuan sepanjang waktu. Tak adanya ruang
untuk berbagi dan bersinergi. Kegelisahan jadi awal sebuah langkah
untuk wujudkan komunitas yang berkualitas.
Gelisah hanya muncul saat
kenyataan tidak sesuai harapan. Atau impian tak terealisasikan. Jadi,
kita bersyukur. Dalam satu ruang dan waktu, terkumpul jiwa-jiwa yang
resah dan gelisah, jiwa-jiwa yang rindu dengan kedamaian dan
ketenteraman. Jiwa yang mendamba cinta. Merenda asa. Merengkuh peluh
setelah lelah meneriakkan keadilan dan kemunafikan. Mengikis habis
kebusukkan moralitas pemimpin-pemimpin bangsa. Meneriakkan jeritan
anak-anak bangsa yang terkapar oleh ketidakadilan dalam memperoleh
hak-haknya. Mengharap ada perubahan akan ketimpangan-ketimpangan hidup
di semua aspek kehidupan. Jiwa yang rindu untuk menyatu dalam bingkai
sastra.
Yah, memang perlu wadah untuk bergabung dan bernaung agar dapat
bergayung sambut dalam mendengungkan dinamika kehidupan di Wonosobo ini.
Itulah sepotong jiwa yang mengemukan setelah kita bersua, bersapa dan
bersama untuk melahirkan sebuah komunitas sastra kala Senin, 27 Agustus
2012 di rumah Mas Yusuf AN.
Bincang-bincang santai antara Mas Haqqi, Mas
Yusuf, Mba Nessa, Mbak Syifa, Mas Omtri, Vanera el-Arj telah berujung
pada acara Launching dan Bedah Dua Buku di Perpusda Wonosobo, Sabtu, 8
September 2012 lalu.
Ada sepenggal rasa yang perlu dicatat. Dunia
kepenulisan adalah dunia yang paling terbuka. Siapa pun dengan profesi
apa pun bahkan dalam umur berapa pun dapat menulis. Menulis apa saja,
tak terkecuali sastra. Maka, kehadiran penyair, budayawan, guru, kepala
sekolah, siswa, mahasiswa, ibu rumah tangga, seniman, dan lain-lain di
acara launching buku kemarin menjadi nuansa yang indah dan menggugah.
Andai kita sanggup suarakan hati, bahwa menulis tak sekedar profesi tapi
panggilan hidup, maka kebenaran akan terkuak, kedamaian tertanam, jika
politik salah diluruskan, kepincangan terjembatani, kesombongan
terkebiri, dan sebagainya. Mudah-mudahan agenda demi agenda yang akan
datang di Komunitas Sastra Wonosobo lebih mengkristalkan diri sebagai
komunitas yang berarti. Mari mantabkan hati untuk menulis
sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. “Menulis itu merangkai
mawar melati menjadi indah semerbak mewangi”, kata Prof.Dr. Suminto A.
Sayuti.
Dengan menjadi penulis, kita berarti sudah laksanakan pesan
Syaikh Imam Al-Ghazali, “
Bila engkau bukan anak raja dan engkau bukan
anak ulama besar, maka jadilah penulis”.
Kata Guidurrahman El Mishry, “
Tulisan yang baik lahir dari energi cinta. Energi cinta membuat seorang
penulis mengokohkan niat menulis, membangun sikap istiqomah dan
mendorong tekat kuat untuk menghasilkan karya terbaik”.
Tulisan adalah
keabadian yang menyiratkan kemuliaan hati penulisnya. Seperti
dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, “ akal orang-orang mulia
terletak pada ujung-ujung penanya”. Man jada wajada (Siapa
yang sungguh-sungguh berusaha akan dapat mewujudkan impiannya). Bersama,
semoga kita bisa. Salam Sastra! (Catatan : Eko Hastuti, Selasa, 11 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar