Senin, 25 Maret 2013

Puisi-Puisi Hening Andriastuti

KURUSETRA

Aku benci dendam. Dendam membuat aku ingin cepat-cepat pergi darimu. Dendam membuat aku muak dengan perasaanku sendiri.Dan ku pikir dendam hanya akan membuat dunia kiamat lebih cepat.Kamu pasti tau alasannya. Dan sungguh...pemicu dari seluruh konflik ini adalah seumpama kutukan dari langit. Aku tak mampu mengelak meski sudah bersembunyi di bawah lapisan bedrock sekalipun. Kau memaksaku untuk mengulum duri ini. Sementara sumpah serapahku pun tak mampu mengeringkan luka yang kau goreskan di nadiku. Kenapa kau nyalakan mercusuar sebagai tanda peperangan?

Dan kini, apa yang bisa kupertaruhkan di hadapanmu? Semua yang kucurahkan tak menjejak. Yang tersisa hanya kedengkian, kebencian, dendam, yang jika ku biarkan akan membunuhku, cepat atau lambat. Tapi taukah kamu? Menimbun dalam-dalam kenangan pahit itu sama halnya dengan menimbun bara, menanam ranjau, membentangkan busur atau menghunus pedang. Genderang perang sudah terlanjur kau gemakan, dan aku hanya bisa mematung di garis depan. Aku tak mampu memusuhimu.

Biarlah tanah dan masa menjadi kurusetra. Menjadi saksi kekacauan yang kau picu, menjadi saksi peperangan yang kau sulut, yang tak ku inginkan, yang ku benci, sama sekali. Ku biarkan langit memerah semerah saga karena menyimpan gelak tangisnya. Ku biarkan bumi meredam dan memendam muntah ku, karena aku tau aku tak kan mampu. Aku bergetar seperti di ujung tebing. Tebing kehancuran yang siap melumatku menjadi remah-remah dan sampah ilalang. Aku lebih mampu menjadikanku kabut, jika aku harus meninggalkanmu.


EUFORIA

Aku masih terus menuliskan mimpi-mimpiku disetiap halaman pagi.
Jika mimpiku tak tergapai hari ini, aku masih punya lembaran untuk esok, lusa atau esok lusa. Selalu. Lagi dan lagi.
Mimpiku siang dan malam.
Bukan angan semata dan aku mencatatnya begitu kokoh.
Impian itu tak pernah terlambat untuk menyata.
Selalu tepat pada waktunya.
Aku tak akan mendapat apa-apa jika ketakutanku lebih besar dari harapanku.
Aku ingin menatap mentari di langit timur sepanjang waktu.
Ada peluang yang ditawarkan untuk ku menangkan.
Aku selalu menantikanmu.


KAMULAH DIMENSIKU

Tenggorokanku seperti tercekat tangan kokoh, aku tak mampu bernafas apalagi berteriak, sekedar memanggil namamu saja aku pilu dan berbeban. Aku takut mengusikmu,,,,ah, perasaan ini begitu mendalam. Dan aku berputar-putar di dua sisi itu, menangis sekaligus tertawa atau sebaliknya tertawa sambil menangis. Aku menangisi kekalahanku, aku jatuh terlalu dalam dan aku kesulitan sekedar untuk meraih rumput pegangan.

Tak semestInya aku menjadi dina dan papa seperti ini. Aku tergagap mengeja satu per satu kebodohanku, yang mengalirkanku pada muara takdir ini. Meski aku setengahnya yakin bahwa siapa diriku saat ini tidak sama sekali hanya ketololanku sendiri. Aku tak mengelak atau beralibi atau mencari alasan atau menemukan excuses yang dipaksakan, tidak juga aku menyalahkan hidupku. Bukankah semua sudah tercatat jauh sebelum kita ada di kemayaan ini???

Dan, aku ingin kamu tau bahwa kau mampu mengubahku menjadi apapun. Kamu paling bisa membuatku berjalan di atas air, menerbangkanku dengan sisa sayap, bahkan menempatkanku pada dimensi ruang dan waktu yang berganti-ganti. Kau juga mampu membawaku tiba-tiba berada di relung kamarmu untuk melihatmu bernafas dalam tidur atau tiba-tiba melompat menuju ke atas bukit dimana aku bisa menyaringkan suaraku, meneriakkan rasa di jantung hatiku, agar langit tau apa yang selalu kusembunyikan di balik awan-awan Cumulus. Masih dengan kemampuanmu, hanya dengan sekali mantra kau mengirimku pada titik kehancuran dan menghabisiku tanpa ampun.
 


*) Hening Andriastuti adalah guru di SMA Muhammadiyah Wonosobo. Kini bergabung bersama komunitas Sastra Bimalukar Wonosobo. 

Puisi Vanera El-Arj

Rumpun Bambu



Dibawah rumpun bambu balakang rumah, aku terbiasa berkelakar sendiri. Sambil mereguk angin, asap-asap pagi, melahap lagu air sungai, merasakan tempa bias hangat mentari.

Aku lebih suka disana dimana jiwaku mampu mengerti, walau sedikit uraian tentang capung dan cacing ataupun seekor belalang yang kehilangan satu kaki tumpuannya.

Mereka tak pernah mau makan padi atau singkok petani, mereka makan apa yang di berikan tuhan secara alami.

Aku muak kembali kedepan rumah, hanya bising! Sebab yang kusaksikan hanya manusia-manusia sibuk merajut kata, memoles rupa, memupuk sangka.

Aku ingin tertawa bila sesekali harus kedepan rumah melihat tingkah beberapa kadal kecil yang berceramah di depan para singa

aku lebih suka berdiam, membiarkan lumpur sawah simbah
belepotan dikaki dan tubuhku

aku lebih gembira membiarkan matahari
menggosongkan wajahku dan berkarib dengan kesunyian rumpun bambu

sungguh ketika aku pulang kembali ke rumah
aku hanya ingin membiarkan keletihan sepanjang hari
menemani
mencumbui

bermesraan di ranjang penuh gairah
sehingga aku tak perlu lagi sibuk
dengan urusan dapur
atau urusan kasur orang
karena aku tlah bersyahwat selalu dengan letihku

Kalibeber, 07-09-10