KURUSETRA
Aku
benci dendam. Dendam membuat aku ingin cepat-cepat pergi darimu. Dendam
membuat aku muak dengan perasaanku sendiri.Dan ku pikir dendam hanya
akan membuat dunia kiamat lebih cepat.Kamu pasti tau alasannya. Dan
sungguh...pemicu dari seluruh konflik ini adalah seumpama kutukan dari
langit. Aku tak mampu mengelak meski sudah bersembunyi di bawah lapisan
bedrock sekalipun. Kau memaksaku untuk mengulum duri ini. Sementara
sumpah serapahku pun tak mampu mengeringkan luka yang kau goreskan di
nadiku. Kenapa kau nyalakan mercusuar sebagai tanda peperangan?
Dan
kini, apa yang bisa kupertaruhkan di hadapanmu? Semua yang kucurahkan
tak menjejak. Yang tersisa hanya kedengkian, kebencian, dendam, yang
jika ku biarkan akan membunuhku, cepat atau lambat. Tapi taukah kamu?
Menimbun dalam-dalam kenangan pahit itu sama halnya dengan menimbun
bara, menanam ranjau, membentangkan busur atau menghunus pedang.
Genderang perang sudah terlanjur kau gemakan, dan aku hanya bisa
mematung di garis depan. Aku tak mampu memusuhimu.
Biarlah
tanah dan masa menjadi kurusetra. Menjadi saksi kekacauan yang kau
picu, menjadi saksi peperangan yang kau sulut, yang tak ku inginkan,
yang ku benci, sama sekali. Ku biarkan langit memerah semerah saga
karena menyimpan gelak tangisnya. Ku biarkan bumi meredam dan memendam
muntah ku, karena aku tau aku tak kan mampu. Aku bergetar seperti di
ujung tebing. Tebing kehancuran yang siap melumatku menjadi remah-remah
dan sampah ilalang. Aku lebih mampu menjadikanku kabut, jika aku harus
meninggalkanmu.
EUFORIA
Aku masih terus menuliskan mimpi-mimpiku disetiap halaman pagi.
Jika mimpiku tak tergapai hari ini, aku masih punya lembaran untuk esok, lusa atau esok lusa. Selalu. Lagi dan lagi.
Mimpiku siang dan malam.
Bukan angan semata dan aku mencatatnya begitu kokoh.
Impian itu tak pernah terlambat untuk menyata.
Selalu tepat pada waktunya.
Aku tak akan mendapat apa-apa jika ketakutanku lebih besar dari harapanku.
Aku ingin menatap mentari di langit timur sepanjang waktu.
Ada peluang yang ditawarkan untuk ku menangkan.
Aku selalu menantikanmu.
KAMULAH DIMENSIKU
Tenggorokanku
seperti tercekat tangan kokoh, aku tak mampu bernafas apalagi
berteriak, sekedar memanggil namamu saja aku pilu dan berbeban. Aku
takut mengusikmu,,,,ah, perasaan ini begitu mendalam. Dan aku
berputar-putar di dua sisi itu, menangis sekaligus tertawa atau
sebaliknya tertawa sambil menangis. Aku menangisi kekalahanku, aku jatuh
terlalu dalam dan aku kesulitan sekedar untuk meraih rumput pegangan.
Tak
semestInya aku menjadi dina dan papa seperti ini. Aku tergagap mengeja
satu per satu kebodohanku, yang mengalirkanku pada muara takdir ini.
Meski aku setengahnya yakin bahwa siapa diriku saat ini tidak sama
sekali hanya ketololanku sendiri. Aku tak mengelak atau beralibi atau
mencari alasan atau menemukan excuses yang dipaksakan, tidak juga aku
menyalahkan hidupku. Bukankah semua sudah tercatat jauh sebelum kita ada
di kemayaan ini???
Dan,
aku ingin kamu tau bahwa kau mampu mengubahku menjadi apapun. Kamu
paling bisa membuatku berjalan di atas air, menerbangkanku dengan sisa
sayap, bahkan menempatkanku pada dimensi ruang dan waktu yang
berganti-ganti. Kau juga mampu membawaku tiba-tiba berada di relung
kamarmu untuk melihatmu bernafas dalam tidur atau tiba-tiba melompat
menuju ke atas bukit dimana aku bisa menyaringkan suaraku, meneriakkan
rasa di jantung hatiku, agar langit tau apa yang selalu kusembunyikan di
balik awan-awan Cumulus. Masih dengan kemampuanmu, hanya dengan sekali
mantra kau mengirimku pada titik kehancuran dan menghabisiku tanpa
ampun.
*) Hening Andriastuti adalah guru di SMA Muhammadiyah Wonosobo. Kini bergabung bersama komunitas Sastra Bimalukar Wonosobo.
Label
- #HariJadiWonosobo189 (1)
- #longsorBanjarnegara (1)
- #MbakyuBlogger #WonosoboEkspres #DiengCinema (1)
- #wonosobo (1)
- antologi (1)
- apresiasi sastra (2)
- Artikel (2)
- bimalukar (1)
- event (1)
- komunitas (1)
- Liputan Kegiatan (1)
- lomba (1)
- lomba cerpen (1)
- puisi (4)
- vanera (1)
- vanera el arj (1)
- wonosobo (2)
Senin, 25 Maret 2013
Puisi Vanera El-Arj
Rumpun Bambu
Dibawah rumpun bambu balakang rumah, aku terbiasa berkelakar sendiri. Sambil mereguk angin, asap-asap pagi, melahap lagu air sungai, merasakan tempa bias hangat mentari.
Aku lebih suka disana dimana jiwaku mampu mengerti, walau sedikit uraian tentang capung dan cacing ataupun seekor belalang yang kehilangan satu kaki tumpuannya.
Mereka tak pernah mau makan padi atau singkok petani, mereka makan apa yang di berikan tuhan secara alami.
Aku muak kembali kedepan rumah, hanya bising! Sebab yang kusaksikan hanya manusia-manusia sibuk merajut kata, memoles rupa, memupuk sangka.
Aku ingin tertawa bila sesekali harus kedepan rumah melihat tingkah beberapa kadal kecil yang berceramah di depan para singa
aku lebih suka berdiam, membiarkan lumpur sawah simbah
belepotan dikaki dan tubuhku
aku lebih gembira membiarkan matahari
menggosongkan wajahku dan berkarib dengan kesunyian rumpun bambu
sungguh ketika aku pulang kembali ke rumah
aku hanya ingin membiarkan keletihan sepanjang hari
menemani
mencumbui
bermesraan di ranjang penuh gairah
sehingga aku tak perlu lagi sibuk
dengan urusan dapur
atau urusan kasur orang
karena aku tlah bersyahwat selalu dengan letihku
Kalibeber, 07-09-10
Langganan:
Postingan (Atom)